Predestinasi

Banyak orang Kristen yang bertanya-tanya tentang sebuah doktrin, yaitu doktrin predestinasi. Apa maksudnya? Bagaimana akibatnya? Tidak habis-habisnya pertanyaan diajukan, dengan berbagai jawaban yang sering membingungkan. Sejarah perdebatan doktrin predestinasi telah dimulai lama sekali, sejak jaman Augustinus berdebat dengan Pelagius. Augustinus mengungkapkan bahwa predestinasi merupakan penetapan Allah bahwa ada sebagian orang yang terpilih untuk diselamatkan dan sisanya dibinasakan, sehingga disebut double-predestination (election & reprobation) absolut.

Pelagius tidak mempercayai hal ini, karena menurutnya manusia bebas memilih jalan hidupnya, yang akan menentukan jalan hidupnya - bukan merupakan keputusan Allah dari semula. Baik Augustinus dan Pelagius membahas hal tentang pengetahuan tentang masa depan (foreknowledge) dan penetapan sejak semula (foreordaination). Bagi Augustinus, pada Allah ada penetapan sejak semula tentang apa yang akan terjadi pada manusia, sedang Pelagius berpendapat bahwa Allah sudah tahu tentang masa depan, tetapi Ia tidak menetapkan jalannya hidup orang. Manusia bisa memilih jalan hidupnya dengan bebas, untuk menerima atau menolak Tuhan. Kedua pandangan ini bertahan selama berabad-abad, dalam satu masa Pelagius (dan 'turunannya', Semi-Pelagianism) menjadi pokok utama gereja, di masa lain pandangan Augustinus yang mengemuka. Di masa reformasi, Martin Luther, Yohanes Calvin, dan tokoh reformasi lainnya sepenuhnya menerima predestinasi absolut Augustinus. Di masa modern pasca Schleiermacher, doktrin predestinasi sama sekali diabaikan, dianggap pemikiran teologia yang semata-mata spekulasi. Tapi toh, ternyata sampai saat ini pun predestinasi masih tetap menjadi pemikiran. Benarkah Tuhan telah menetapkan segala sesuatu sebelum dunia dijadikan? Kalau begitu, apa artinya kehendak bebas manusia? Untuk apa memberitakan Injil, kalau semua sudah ditetapkan terlebih dahulu? Dan akibatnya, bukankah berarti Tuhan juga yang menetapkan manusia jadi berdosa, lalu dihukum? Allah macam apa yang menetapkan manusia jadi berdosa, lalu dihukum? Betapa sewenang-wenang! Tidak adil! Tapi, semua tahu bahwa Tuhan itu baik dan adil. Jadi, banyak yang menyimpulkan bahwa doktrin predistinasi absolut pasti salah.

Teolog besar abad ke-20, Karl Barth memberi definisi baru atas predestinasi: ini adalah keadaan krisis dari manusia: yang menerima Allah merupakan orang yang dipredestinasikan terpilih, sedang yang menolak akan dibinasakan. Karena hidup manusia terus menerus berada dalam krisis, maka seseorang dalam hidupnya berkali-kali ada dalam dua keadaan, selamat atau binasa. Kehidupan manusia bukanlah objek dari predestinasi, melainkan suatu arena antara terpilih dengan terhukum. Masalahnya, doktrin ini dirumuskan secara eksplisit, seperti dalam pembukaan surat ke Efesus:
Ef 1:4, "Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya."

Apakah ayat ini keliru? Sebelumnya, mari kita memikirkan tentang kebebasan. Anggap saja tidak ada predestinasi. Apakah manusia benar-benar bebas? Tidak. Ada kuasa kedagingan yang mengikat setiap orang, sehingga SEMUA manusia pasti berbuat dosa. Tidak ada orang yang dapat memililih untuk tidak berbuat salah, walau banyak yang menginginkannya. Solusi sebagian orang adalah dengan menjadi pertapa yang bebas dari dunia. Tetapi bertapa -- yang mematikan diri dari dunia -- juga merupakan perbuatan dosa karena tidak lagi perduli pada kehidupan orang lain. Manusia, hanya dalam dirinya sendiri, tidak punya kesempatan untuk sepenuhnya benar. Dalam sikapnya, malah orang mendefinisikan ulang kebenaran, seraya menolak kebenaran yang absolut. Kini dalam filosofi post-modern tiap orang merasa 'bebas' memilih kebenarannya sendiri, yang juga merupakan dosa karena menolak kebenaran Allah. Prakteknya, orang tidak bisa memilih untuk selalu berbuat benar.

Ada yang terpaksa berdusta. Terpaksa mencuri. Terpaksa menyakiti. Semua harus berkuasa, siapa yang rela menjadi hamba? Semua harus menyelamatkan dirinya sendiri, kalau perlu dengan mengorbankan orang lain. Dan perhatikanlah, seperti apa manusia jatuh dalam candu. Ada yang kecanduan merokok. Ada yang kecanduan obat. Ada yang menjadi budak nafsu, entah itu nafsu sex atau nafsu makan. Ada juga yang kecanduan kekuasaan, seperti Alexander Agung yang tak bisa berhenti memerangi dan menguasai. Orang-orang ini menikmati keadaan mereka, sedemikian rupa sehingga tidak bisa berhenti, walau mereka menginginkannya. Pada satu saat, mereka merasa bebas menikmati apa yang mereka inginkan, walaupun tahu bahwa hal itu buruk. Suatu saat mereka tiba pada satu kondisi di mana mereka tidak bisa meninggalkan -- apakah kita pun mengalaminya? Pernahkah merasakan ingin berhenti dari suatu kebiasaan buruk, tetapi ternyata tidak bisa stop? Rasul Paulus mengungkapkan hal ini dengan jelas:
Rom 7:18-19 Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. 

Kenyataannya: kita tidak mempunyai kehendak bebas. Manusia tunduk pada kuasa-kuasa di luar dirinya, diperbudak oleh hal-hal di atas bumi ini. Orang menjadi jahat, mereka berbuat salah di mana-mana. Mungkin sebagian akan berkilah, bukankah pada manusia ada hukum yang melarang orang berbuat salah dan jahat? Tetapi, nyatanya keberadaan Hukum telah membuat keadaan menjadi semakin buruk; orang cenderung untuk melanggar aturan. Hukum ada bukan untuk menuntun orang menjadi baik, sebaliknya menjadi acuan untuk memberikan hukuman. Coba saja perhatikan: tidak ada orang yang menjadi baik karena KUHP; kitab hukum itu hanya berguna untuk menjadi acuan dalam menentukan hukuman kepada pelanggarnya. Karena orang tidak mempunyai kehendak bebas, maka pilihan-pilihan yang diambil pun merupakan wujud keterpaksaan. Ketika tiba dalam keputusan untuk memilih Allah atau dunia, manusia tidak bisa memilih-Nya. Orang terikat pada dunia, mau tidak mau harus memilih dunia, bukan Allah.

Kehendak 'bebas' hanya ilusi belaka; siapa yang bisa lepas dari ikatan diri sendiri? Bahkan di saat memilih untuk beragama, orang sebenarnya terikat untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Mari saya jelaskan sedikit tentang ini.

Perhatikanlah: mengapa orang menganut suatu agama tertentu? Ada tawaran dalam agama. Tawarannya adalah kenikmatan surgawi, dilayani oleh bidadari-bidadari yang penuh gairah dan selalu perawan. Tawarannya adalah lepas dari lingkaran reinkarnasi dan karma, untuk menjadi sempurna. Tawarannya adalah menjadi penguasa langit yang diberkati.

Ketika dicari pusat dari semua tawaran itu, kita menemukan di tengahnya ada manusia, yang haus dan rindu akan kenikmatan, kenyamanan, keamanan, serta kesempurnaan. Orang terikat untuk memuaskan dirinya sendiri; itulah kuasa daging. Untuk itu, manusia rela untuk melakukan hal-hal yang baik dengan penuh disiplin, bahkan bersedia untuk mati sebagai 'pahlawan iman'. Tetapi kedagingan yang sama juga membuat manusia melakukan berbagai-bagai kejahatan, yang tidak ada batasnya.

Apakah agama Kristen tidak menawarkan hal yang sama? Nah, inilah tawaran dari kekristenan: manusia selamat untuk masuk ke hadapan TUHAN, dan selama-lamanya memuji, menyembah, dan melayani-Nya. Di Surga tidak ada penderitaan, tetapi juga tidak ada kesempatan untuk memuaskan nafsu diri dalam kekekalan, atau selamanya hidup seperti raja yang senantiasa dilayani bidadari perawan. Pusatnya bukanlah manusia, melainkan TUHAN, dan hanya TUHAN. Selamanya untuk kemuliaan-Nya, kesenangan-Nya, dan kehendak-Nya. Adakah orang yang dapat bebas untuk memilih-Nya? Predestinasi bukanlah dikenakan pada manusia yang memiliki kebebasan; sebaliknya,
Rom 3:23-24 Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. 

Kondisi awal predestinasi adalah semua sudah kehilangan kemuliaan Allah. Ini bukan memilih sebagian orang untuk dimasukkan ke 'kotak kudus' dan sisanya dimasukkan ke 'kotak dosa' -- bukan. Semuanya berangkat dari dalam kotak dosa, di mana seharusnya SEMUA yang ada di dalamnya dimusnahkan. Kita semua awalnya adalah bangkai, sampah yang sudah selayaknya dibuang dan dibakar, dibinasakan. Kalau bangkai tidak dihancurkan akan mendatangkan penyakit, bukan?

Jadi, bagaimana mungkin kita masih bisa terpilih? Karena kasih karunia, sehingga dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Dalam hal ini, TUHAN berotoritas untuk memilih siapa yang mau dipilih-Nya, sementara meninggalkan sisanya di tempatnya semula. Inilah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus tentang orang yang tidak percaya pada-Nya:
Yoh 3:18 Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia TELAH berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. (huruf besar dari saya) 

Yang tidak percaya sudah berada dalam kotak dosa, berada di bawah hukuman, karena itulah tempat kita sejak semula. Dibutuhkan suatu karunia, suatu usaha khusus dari Tuhan, untuk mengatasi kuasa dosa itu. Dibutuhkan darah untuk memutuskan ikatan dosa, suatu kebangkitan bersama dengan Kristus yang bangkit. Karena itu, keselamatan adalah sepenuhnya karunia, sebuah anugerah.

Dan sebuah anugerah sepenuhnya ada dalam otoritas pihak yang memberikannya. Tidak ada anugerah yang bisa dipaksakan, karena kalau demikian bukan lagi merupakan anugerah. Predestinasi pada hakekatnya adalah penetapan Allah terhadap manusia yang dipilih-Nya untuk menerima anugerah untuk percaya; mengatasi ikatan kedagingan sehingga manusia percaya pada-Nya. Di sini, iman bukanlah hasil pekerjaan kita, seperti kata Rasul Paulus lagi:
Ef 2:8-9 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri. 

Ya, iman bukan hasil usaha kita, tetapi pemberian Allah. Orang tidak bisa bermegah karena iman yang dimilikinya; iman bukan hasil keputusan manusia, melainkan pemberian. Ketika manusia menerimanya, mereka menjadi bebas.

Orang yang di dalam Tuhan memiliki kebebasan yang sejati untuk memilih; di dalam Tuhan orang kembali mampu untuk memilih dengan bebas.

Bahkan, orang di dalam-Nya bebas untuk memilih menyangkali-Nya atau mengkhianati-Nya.

Sampai di sini, ada satu hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu, karena mungkin sudah timbul dalam benak kita sejak tadi: bagaimana dengan kondisi awal Allah menciptakan manusia? Jelaslah bahwa TUHAN tidak menciptakan manusia yang ada di dalam kotak dosa. Di kitab Kejadian dikatakan bahwa semua yang diciptakan oleh Allah adalah BAIK, termasuk manusia -- bahkan AMAT BAIK. Dia tidak menciptakan sampah; lalu bagaimana manusia bisa berdosa? Apakah Allah sudah mempredestinasikan bahwa manusia akan berdosa?
Apakah Allah menciptakan dosa?

Ada dua pandangan yang menjawab hal ini.

Yang pertama, pandangan yang disebut supralapsarianisme. Supralapsarian mengatakan bahwa otoritas Allah meliputi segala hal, termasuk keberadaan dosa yang membuat semua orang jatuh di dalamnya. Ketika Allah merencanakan menciptakan manusia dengan kehendak bebas, Ia sudah mempredestinasikan kejatuhan manusia. Maka, Tuhan juga sudah mempredestinasikan jalan keselamatan oleh Kristus serta keberadaan manusia yang akan dipilih-Nya untuk selamat.

Bukan artinya Allah menciptakan dosa; tidak, sebaliknya ia membuat manusia yang sempurna, segambar dan serupa diri-Nya. Semua ciptaan adalah amat baik, dengan akal budi serta kehendak bebas seperti yang dimiliki Allah. Tetapi di saat Allah memberikan hal-hal baik itu, Ia juga harus memberikan kondisi pilihan pada manusia karena kehendak bebas selalu berkaitan dengan pilihan. Jika manusia tidak bisa memilih, apa artinya kehendak bebas? Demikianlah Allah menaruh pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, yang buahnya akan mematikan manusia.

Manusia bebas berkehendak; ia bisa bebas menikmati seluruh Firdaus, tetapi bisa juga bebas mengambil dan memakan buah pohon itu. Sempurna.

Disinilah supralasarian berpendapat, bahwa Allah telah mempredestinasikan bahwa manusia akan gagal. Kesempurnaan pada manusia akan menjadi penyebab kejatuhannya sendiri. Allah memang tidak menciptakan dosa, tetapi pada saat Ia memberi kehendak bebas, Ia juga memberi potensi berdosa pada manusia. Keadaannya mungkin seperti seseorang yang memberikan seuntai kalung berlian yang amat sangat mahal kepada seseorang. Pemberian itu amat baik dan menyenangkan, tetapi di saat yang sama juga menimbulkan resiko mengalami kejahatan, karena penjahat mengincar harta itu, seperti iblis yang mengincar kejatuhan manusia. Di sini ada otoritas Allah sepenuhnya untuk memberi, walaupun dengan demikian Allah juga menetapkan resikonya yang pasti terjadi.

Pandangan supralapsarian menjadi pandangan bapak-bapak reformasi seperti Luther dan Calvin, menjadi salah satu paham mendasar teologi reformasi. Bagaimana pandangan yang kedua?

Yang kedua, pandangan yang disebut infralapsarianisme. Infralapsarian mengatakan bahwa Allah tidak mempredestinasikan atau menetapkan kejatuhan, melainkan Ia sudah mengetahui lebih dahulu bahwa nantinya manusia bisa jatuh dalam dosa. Pandangan ini awalnya muncul sebagai reaksi terhadap teologi reformasi, dalam kurun waktu yang kurang lebih bersamaan dengan munculnya pandangan Armenianisme. Dalam pandangan ini, Allah tidak menetapkan kejatuhan manusia, melainkan manusia yang mencelakakan dirinya sendiri, di luar rencana Allah.

Apakah Allah tidak tahu? Tentu saja, Allah sudah lebih dahulu mengetahui hal itu. Allah tahu bahwa manusia akan jatuh dalam dosa, tetapi sebenarnya Allah tidak menghendakinya, maka tentu Allah tidak menetapkan keberdosaan manusia. Infralapsarian mengatakan bahwa dosa adalah keputusan manusia, berdasarkan kehendak bebasnya. Dan berdasarkan kehendak bebas itu pula manusia dapat meninggalkan dosa. Untuk itu orang harus berusaha, bahkan berusaha keras. Allah menawarkan keselamatan, tetapi manusia harus berjuang untuk memperolehnya.

Bagaimana pun juga, kita semua SUDAH berdosa, apa pun asal muasalnya. Baik supralapsarian maupun infralapsarian tidak menjawab langsung bagaimana dosa bisa diatasi. Kita semua juga tahu bahwa Allah tetap memiliki otoritas atas kehidupan, Dia memiliki penilaian-Nya, yang berbeda dari manusia. Kalau kita melihat ada orang baik, mungkin kita akan berkata, "wah, orang itu baik sekali, pasti masuk Sorga!"

Sebaliknya, kalau kita melihat ada orang jahat, mungkin kita juga akan berkata "aduh, orang ini jahat sekali, pasti masuk neraka!"

Kenyataannya, jika orang yang berkelakuan baik tadi ternyata tidak menerima Kristus, tidak percaya kepada-Nya, serta kemudian melakukan hal-hal yang jahat di mata Allah, maka ia (yang tadi dipuji-puji itu) akan menerima hukuman Neraka. Sebaliknya, jika orang jahat tadi bertobat dan berbalik dari jalannya yang jahat, serta percaya kepada Kristus, ia akan diselamatkan.

Di sini kita melihat bahwa predestinasi itu sendiri adalah misteri, di luar kemampuan manusia memahami. Kita hanya tahu bahwa Tuhan menetapkan, tetapi tak seorang pun yang tahu apa isi ketetapan itu. Satu peringatan bagi kita adalah agar kita jangan menghakimi, karena kita sama-sama berada di muka Hakim Semesta. Kita tidak tahu bagaimana akhir hidup seseorang, dan bagaimana kesudahannya. Bagi kita, bagian kita adalah percaya Kristus dan memberitakan kepercayaan itu kepada segala bangsa.

Jika saat-Nya tiba dan kita memandang seseorang berlutut mengaku dosa dan bertobat, serta menerima Kristus, kita boleh bersorak-sorai karena ada satu lagi anak manusia yang selamat, berdasarkan anugerah TUHAN. Puji Tuhan, Haleluuuuuya!!

0 comments:

Posting Komentar

 
Copyright © GPdI Tanah Merah. Original Concept and Design by My Blogger Themes